Network
Kabarindramayu – Tradisi atau ‘kebiasaan’ diambil dari bahasa Latin, Tradere yang bermakna mentransmisikan dari satu tangan ke tangan lain untuk dilestarikan.
Dalam buku Sosiologi Perubahan Sosial, karya Piotr Sztomka dikatakan bahwa Tradisi adalah kesamaan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun masih ada hingga kini dan belum dihancurkan atau dirusak. Tradisi dapat diartikan sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu. Namun demikian tradisi yang terjadi berulang-ulang bukanlah dilakukan secara kebetulan atau sengaja.
Di beberapa daerah banyak sekali tradisi yang dilakukan oleh masyrakat, salah satunya yang dilakukan oleh masyarakat sunda yaitu mapag sri.
Mapag Sri adalah salah satu adat/budaya masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Sunda yang dilaksanakan untuk menyambut datangnya panen raya sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Mahaesa.
Dalam bahasa Jawa halus, mapag berarti menjeput, sedangkan sri dimaksudkan sebagai padi, jadi Mapag Sri mengandung arti menjemut padi atau biasa disebut panen.
Indonesia kaya akan budaya dan adat istiadat yang berhubungan dengan masa menyambut panen, terutama padi.
Dalam legenda masyarakat, Dewi Sri berhubungan dengan ritual panen padi karena dianggap sebagai pembawa keberuntungan dan kesuburan. Dewi Sri di masyarakat suku Sasak, Nusa Tenggara Barat dikenal dengan sebutan Uis Neno.
Pada masyarakat Bugis dikenal dengan Dewi padi dan di Bali dikenal dengan sebutan Dewa Nini.
Sedangkan pada masyarakat Sunda sendiri dikenal dengan sebutan Nyi Pohaci atau Shangyang Sri. Banyak legenda yang berkaitannya seperti Wawacan Pohaci, Cariyos Sawagaloka, Wawacan Sanghyang Sri, Wawacan Puhaci Dandayang, Wawacan Dewi Sri dan Wawacan Sulanjana.
